Monday, December 31, 2007

Capoeira VIDEO

Ini contoh gerakan dasar capoeira

Rio De Jenairo, Brazil, yang Ragawi



TIGA anak muda sibuk memasang sebuah jaring voli ketika kami, saya dan teman lama saya Bruno Farias, tiba. Kami berada di dekat Posto 3 Pantai Copacabana, Rio de Janeiro. Bruno memperkenalkan saya pada ketiga kawannya itu: Marcos yang memakai anting di kedua daun telinganya, Michel yang kurus tinggi, dan Bruno lainnya yang memakai T-shirt Muay Thai. Sabtu sore itu mereka berniat bermain voli pantai, yang dua lawan dua itu.

Tak lama datang tiga teman mereka lagi: Rodrigo yang teman kuliah Bruno Farias, pacar Rodrigo, Priscila, dan adik Rodrigo, Gustavo. Kami ngobrol di pinggir lapangan yang garisnya dibuat dengan kaki pada pasir itu, sementara yang empat bermain voli pantai.

Ada banyak orang di Pantai Copacabana sore musim dingin di belahan bumi selatan itu, walau tak seperti kala musim panas, ketika pantai cantik itu dipenuhi tubuh-tubuh indah dan kurang indah. Pagi dan siangnya matahari bersinar penuh, namun sore itu mendung menutupi langit, dan angin bertiup kencang. Namun, tetap saja keempat anak muda itu asyik bervoli. Bahkan ketika tetesan air jatuh satu satu dari langit.

Baru ketika hujan melebat, mereka berhenti dan sibuk melepas jaring voli, sementara kami yang menonton sudah berlari mencari tempat perlindungan, seperti juga orang-orang lain yang tadinya bersantai di pantai.

Kami berdesakan berlindung dekat sebuah kios makanan. Hujan makin lebat sehingga diputuskan untuk pergi ke rumah Marcos yang tak jauh dari situ. Berlarianlah kami melintasi kakilima berhias piedras portuguesas (batu portugis) yang membentuk corak ombak dan yang menjadi ciri khas Copacabana itu. Terus berlari menyeberangi jalan, kami menuju ke gedung-gedung apartemen beberapa puluh meter dari pantai saat hujan tambah lebat.

Ketika kami tiba di apartemen Marcos, kami sudah setengah basah kuyup. Persediaan handuk kering Marcos harus dikeluarkan semua agar kami bisa cukup nyaman menonton pertandingan bola di televisi. Rencana melewatkan sore di pantai pun berubah menjadi acara menanti hujan berhenti sambil menonton pertandingan bola di televisi.

BRUNO minta maaf atas perubahan rencana itu. Tentu saja tak ada yang perlu dimintai maaf. Selain karena tak satu pun dari kami adalah pawang hujan, juga karena hujan pun bisa dinikmati. Berhujan-hujan di Pantai Copacabana, menonton sepak bola di televisi sambil ngobrol menanti hujan reda, lalu berjalan pulang ke hotel yang juga di kawasan Pantai Copacabana itu sambil melanjutkan ngobrol dengan Bruno, Rodrigo, Priscila, dan Gustavo yang mengantar saya. Menikmati keadaan atau menyesali keadaan itu hanyalah soal sudut pandang.

Rio yang disebut sebagai cidade maravilhosa itu memang menawarkan banyak hal untuk dinikmati atau disesali. Namun yang jelas, aspek ragawi selalu kuat dalam tawaran-tawarannya. Bahkan pada musim dingin ini, saat pantai tak lagi dipadati manusia yang nanti akan mencendol pada musim panas itu, aspek ragawi masih saja jelas.

Saya teringat ketika hampir dua bulan sebelumnya saya mengunjungi Rio. Waktu itu dalam rangka tugas, ikut misi yang diadakan Departemen Luar Negeri dan Badan Pengembangan Ekspor Nasional yang menggelar pameran terpadu Indonesia di kota itu. Suatu malam, tiga pria mencari saya di hotel, untuk membawa saya melihat sebuah roda capoeira. Roda capoeira itu adalah di mana para capoeirista membentuk lingkaran, bernyanyi, main musik, bertepuk tangan, dan memperlihatkan kebolehan mereka di tengah lingkaran itu.

Renato atau Mestre Torpedo dan Luciano-kakak dan adik Mestre Cicatriz dari Grupo Bahia de Capoeira yang adalah mestre saya-serta teman mereka, Marcos, membawa saya ke Itaguai, dua jam perjalanan dari hotel saya di kawasan Botafogo. Ketika kami tiba menjelang pukul 10 malam, suara berimbau terdengar sampai ke jalan, menandakan roda telah dimulai.

Saya diperkenalkan pada para capoeirista dari Grupo Uniao Costa Verde dan Grupo Congo itu. Lebih dari dua puluh orang lelaki yang sudah bertahun-tahun mendalami bentuk seni Brasil ini berkumpul. Mestre Garnise, Mestre Velho, Contramestre Veiga, Contramestre Vega, Professor Ninja, Mandibula, Jacare, Queda... aduh mana mungkin mengingat nama mereka satu per satu.

Semakin sulit saya mengingat nama mereka ketika mereka sudah beraksi. Mula-mula saya masih mampu mengingat, misalnya bahwa Professor Ninja itu yang berbadan kekar dan bertelanjang dada, bahwa Mestre Garnise itu yang berbadan ramping dan bersikap halus dan santun, bahwa Contramestre Velho adalah yang bertato di lengannya. Namun ketika mereka melakukan permainan di tengah lingkaran tiap kali dua orang, itu semua menjadi kabur. Bahkan Mestre Torpedo dan Luciano pun tak bisa saya kenali.

Gerakan mereka sangat cepat, terkoordinasi, ganas, dan indah. Yang mereka perlihatkan adalah yang seperti di film-film laga. Yang saya lihat adalah hasil latihan tekun bertahun-tahun. Udara malam yang 17 derajat Celsius tak lagi terasa dingin di aula yang salah satu sisinya tak berdinding itu. Berimbau dikentung, lagu-lagu dinyanyikan membahana, tepuk tangan berirama menambah semangat. Energi yang terasa sungguh luar biasa. Saya menjadi bagian dari lingkaran itu tanpa khawatir terkena kaki melayang karena masing-masing menguasai gerakan mereka yang terkontrol.

Roda selesai, para capoeirista itu lalu memperlihatkan kebolehan mereka dalam acrobacia. Satu-satu bersalto dengan berbagai gaya khas mereka, serba indah dan mengagumkan. Lalu ketika saya minta mereka berfoto bersama, masih juga mereka ingin nampang. Bergantian mereka tampil memperlihatkan sebuah gerakan, di depan teman-teman mereka yang sudah siap difoto.

KETIKA saya kembali mengunjungi Rio pertengahan Juli, udara malamnya masih juga dingin menggigilkan. Namun hujan tak turun keesokan hari setelah acara gagal voli di pantai itu. Hari Minggu itu, saya diajak keluarga Farias dengan siapa saya telah bersahabat selama belasan tahun itu, untuk ke Pekan Raya Nordestina, sebuah pekan raya rakyat dari daerah timur laut Brasil yang didakan di Rio tiap akhir pekan.

Walau penjualan makanan dan produk daerah menjadi fokus, namun aspek ragawi tak terlupakan dalam pekan raya rakyat itu. Di sebuah panggung sebuah kelompok musik tradisional Nordestino beraksi. Di depan panggung, pasangan-pasangan asyik menarikan dansa Forro, sebuah dansa tradisional yang sangat populer.

Seperti dalam aktivitas-aktivitas fisik yang saya ceritakan sebelumnya, saya juga menikmati menjadi penonton. Tak bisa bervoli atau ber-forro bukan halangan untuk menikmatinya.

Hari terakhir saya di Rio, mendung kembali menutupi, sehingga rencana untuk ikut terbang layang tandem saya batalkan. Apa gunanya melayang-layang di udara kalau tak ada sinar matahari yang menemani, yang terpantulkan oleh air tenang di pantai-pantai kota yang jelita itu?

Di Pantai Arpoador yang berombak, tampak peselancar menikmati hari. Saya duduk sejenak bersama beberapa orang lain yang juga menikmati hari dengan menonton para peselancar itu beraksi. Mungkin sebelum berangkat ke bandara, masih ada waktu untuk manicure-pedicure, perawatan kuku yang sepertinya adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kelas menengah di Brasil. (Diah Marsidi/KOMPAS)

Capoeira di Yogya?







Setiap hari Senin, Selasa dan Rabu di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta terlihat ramai dengan banyaknya orang yang berkumpul untuk melakukan olahraga yang sedikit istimewa. Dimulai pada jam empat sore beberapa puluh orang bernyanyi, memainkan beberapa alat musik dari Afrika, melakukan gerakan seperti tendangan dan berlompatan. Orang-orang ini adalah Capoeira Yogya Club yang sudah mulai berlatih olahraga ini selama empat tahun.

Tetapi apa itu Capoeira? Capoeira adalah sebuah sistem bela diri tradisional yang didirikan di Brazil oleh budak-budak Afrika yang dibawa oleh orang-orang Portugis ke Brazil untuk bekerja di perkebunan-perkebunan besar. Pada zaman dahulu mereka melalukan latihan dengan diiringi oleh alat-alat musik tradisional, seperti berimbau (sebuah lengkungan kayu dengan tali senar yang dipukul dengan sebuah kayu kecil untuk menggetarkannya) dan atabaque (gendang besar), dan ini juga lebih mudah bagi mereka untuk menyembunyikan latihan mereka dalam berbagai macam aktivitas seperti kesenangan dalam pesta yang dilakukan oleh para budak di tempat tinggal mereka yang bernama senzala. Ketika seorang budak melarikan diri ia akan dikejar oleh “pemburu” profesional bersenjata yang bernama capitães-do-mato (kapten hutan).



Biasanya capoeira adalah satu-satunya bela diri yang dipakai oleh budak tersebut untuk mempertahankan diri. Pertarungan mereka biasanya terjadi di tempat lapang dalam hutan yang dalam bahasa tupi-guarani (salah satu bahasa pribumi di Brazil) disebut caá-puêra – beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa inilah asal dari nama seni bela diri tersebut. Mereka yang sempat melarikan diri berkumpul di desa-desa yang dipagari yang bernama quilombo, di tempat yang susah dicapai. Quilombo yang paling penting adalah Palmares yang mana penduduknya pernah sampai berjumlah sepuluh ribu dan bertahan hingga kurang lebih selama enam puluh tahun melawan kekuasaan yang mau menginvasi mereka. Ketua mereka yang paling terkenal bernama Zumbi. Ketika hukum untuk menghilangkan perbudakan muncul dan Brazil mulai mengimport pekerja buruh kulit putih dari negara-negara seperti Portugal, Spanyol dan Italia untuk bekerja di pertanian, banyak orang negro terpaksa berpindah tempat tinggal ke kota-kota, dan karena banyak dari mereka yang tidak mempunyai pekerjaan mulai menjadi penjahat. Capoeira, yang sudah menjadi urban dan mulai dipelajari oleh orang-orang kulit putih, di kota-kota seperti Rio de Janeiro, Salvador da Bahia dan Recife, mulai dilihat oleh publik sebagai permainan para penjahat dan orang-orang jalanan, maka muncul hukum untuk melarang Capoeira. Sepertinya pada waktu itulah mereka mulai menggunakan pisau cukur dalam pertarungannya, ini merupakan pengaruh dari pemain capoeira yang berasal dari Portugal dan menyanyikan fado (musik tradisional Portugis yang mirip dengan keroncong). Pada waktu itu juga beberapa sektor yang rasis dari kaum elit Brazil berteriak melawan pengaruh Afrika dalam kebudayaan negara, dan ingin “memutihkan” negara mereka. Setelah kurang lebih setengah abad berada dalam klandestin, dan orang-orang mepelajarinya di jalan-jalan tersembunyi dan di halaman-halaman belakang rumah, Manuel dos Reis Machado, Sang Guru (Mestre) Bimba, mengadakan sebuah pertunjukan untuk Getúlio Vargas, presiden Brazil pada waktu itu, dan ini merupakan permulaan yang baru untuk capoeira.

Tarian Unik ala Capoeira




Capoeira merupakan sebuah olah raga bela diri yang dikembangkan oleh para budak Afrika di Brasil pada sekitar tahun 1500-an. Gerakan dalam capoeira menyerupai tarian dan bertitik berat pada tendangan. Pertarungan dalam capoeira biasanya diiringi oleh musik dan disebut Jogo. Capoeira sering dikritik karena banyak orang meragukan keampuhannya dalam pertarungan sungguhan, dibanding seni bela diri lainnya seperti Karate atau Taekwondo.

Capoeira adalah sebuah sistem bela diri tradisional yang didirikan di Brazil oleh budak-budak Afrika yang dibawa oleh orang-orang Portugis ke Brazil untuk bekerja di perkebunan-perkebunan besar. Pada zaman dahulu mereka melalukan latihan dengan diiringi oleh alat-alat musik tradisional, seperti berimbau (sebuah lengkungan kayu dengan tali senar yang dipukul dengan sebuah kayu kecil untuk menggetarkannya) dan atabaque (gendang besar), dan ini juga lebih mudah bagi mereka untuk menyembunyikan latihan mereka dalam berbagai macam aktivitas seperti kesenangan dalam pesta yang dilakukan oleh para budak di tempat tinggal mereka yang bernama senzala. Ketika seorang budak melarikan diri ia akan dikejar oleh “pemburu” profesional bersenjata yang bernama capitães-do-mato (kapten hutan). Biasanya capoeira adalah satu-satunya bela diri yang dipakai oleh budak tersebut untuk mempertahankan diri. Pertarungan mereka biasanya terjadi di tempat lapang dalam hutan yang dalam bahasa tupi-guarani (salah satu bahasa pribumi di Brazil) disebut caá-puêra – beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa inilah asal dari nama seni bela diri tersebut. Mereka yang sempat melarikan diri berkumpul di desa-desa yang dipagari yang bernama quilombo, di tempat yang susah dicapai. Quilombo yang paling penting adalah Palmares yang mana penduduknya pernah sampai berjumlah sepuluh ribu dan bertahan hingga kurang lebih selama enam puluh tahun melawan kekuasaan yang mau menginvasi mereka. Ketua mereka yang paling terkenal bernama Zumbi. Ketika hukum untuk menghilangkan perbudakan muncul dan Brazil mulai mengimport pekerja buruh kulit putih dari negara-negara seperti Portugal, Spanyol dan Italia untuk bekerja di pertanian, banyak orang negro terpaksa berpindah tempat tinggal ke kota-kota, dan karena banyak dari mereka yang tidak mempunyai pekerjaan mulai menjadi penjahat. Capoeira, yang sudah menjadi urban dan mulai dipelajari oleh orang-orang kulit putih, di kota-kota seperti Rio de Janeiro, Salvador da Bahia dan Recife, mulai dilihat oleh publik sebagai permainan para penjahat dan orang-orang jalanan, maka muncul hukum untuk melarang Capoeira. Sepertinya pada waktu itulah mereka mulai menggunakan pisau cukur dalam pertarungannya, ini merupakan pengaruh dari pemain capoeira yang berasal dari Portugal dan menyanyikan fado (musik tradisional Portugis yang mirip dengan keroncong). Pada waktu itu juga beberapa sektor yang rasis dari kaum elit Brazil berteriak melawan pengaruh Afrika dalam kebudayaan negara, dan ingin “memutihkan” negara mereka. Setelah kurang lebih setengah abad berada dalam klandestin, dan orang-orang mepelajarinya di jalan-jalan tersembunyi dan di halaman-halaman belakang rumah, Manuel dos Reis Machado, Sang Guru (Mestre) Bimba, mengadakan sebuah pertunjukan untuk Getúlio Vargas, presiden Brazil pada waktu itu, dan ini merupakan permulaan yang baru untuk capoeira. Mulai didirikan akademi-akademi, agar publik dapat mempelajari permainan capoeira. Nama-nama yang paling penting pada masa itu adalah Vicente Ferreira Pastinha (Sang Guru Pastinha), yang mengajarkan aliran “Angola”, yang sangat tradisional, dan Mestre Bimba, yang mendirikan aliran dengan beberapa inovasi yang ia namakan “Regional”.

Sejak masa itu hingga masa sekarang capoeira melewati sebuah perjalanan yang panjang. Saat ini capoeira dipelajari hampir di seluruh dunia, dari Portugal sampai ke Norwegia, dari Amerika Serikat sampai ke Australia, dari Indonesia sampai ke Jepang. Di Indonesia capoeira sudah mulai dikenal banyak orang, disamping kelompok yang ada di Yogyakarta, juga terdapat beberapa kelompok di Jakarta. Banyak pemain yang yang berminat mempelajari capoeira karena lingkungannya yang santai dan gembira, tidak sama dengan disiplin keras yang biasanya terdapat dalam sistem bela diri dari Timur. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang penulis besar dari Brazil Jorge Amado, ini “pertarungan yang paling indah di seluruh dunia, karena ini juga sebuah tarian”. Dalam capoeira teknik gerakan dasar dimulai dari “ginga” dan bukan dari posisi berhenti yang merupakan karateristik dari karate, taekwondo, pencak silat, wushu kung fu, dll...; ginga adalah gerakan-gerakan tubuh yang berkelanjutan dan bertujuan untuk mencari waktu yang tepat untuk menyerang atau mempertahankan diri, yang sering kali adalah menghindarkan diri dari serangan. Dalam roda para pemain capoeira mengetes diri mereka, lewat permainan pertandingan, di tengah lingkaran yang dibuat oleh para pemain musik dengan alat-alat musik Afrika dan menyanyikan bermacam-macam lagu, dan pemain lainnya bertepuk tangan dan menyanyikan bagian refrein. Lirik lagu-lagu itu tentang sejarah kesenian tersebut, guru besar pada waktu dulu dan sekarang, tentang hidup dalam masa perbudakan, dan perlawanan mencapai kemerdekaan. Gaya bermain musik mempunyai perbedaan ritme untuk bermacam-macam permainan capoeira, ada yang perlahan dan ada juga yang cepat.

Capoeira tidak saja menjadi sebuah kebudayaan, tetapi juga sebuah olahraga nasional Brazil, dan para guru dari negara tersebut membuat capoeira menjadi terus menerus lebih internasional, mengajar di kelompok-kelompok mahasiswa, bermacam-macam fitness center, organisasi-organisasi kecil, dll. Siswa-siswa mereka belajar menyanyikan lagu-lagu Capoeira dengan bahasa Portugis – “Capoeira é prá homi, / mininu e mulhé...” (Capoeira untuk laki-laki, / anak-anak dan perempuan).

Di Indonesia, sama seperti di negara-negara yang lain, kemungkinan Capoeira akan semakin berkembang.


Beberapa gerakan dalam Capoeira:

1. Ginga
2. Handstand
3. Backflip
4. Headspin
5. Handstand Whirling

Capo





Apa persamaan film Only the Strong, videoklip Christina Aguilera yang berjudul Dirty, dan video games Eddie Gordo? Ketiganya sama-sama menampilkan sosok yang sedang mengeluarkan jurus-jurus capoeira. Seni bela diri ini sedang marak berkembang di Indonesia.

Alkisah, pada abad ke-16, di sebuah kawasan bernama Angola, Afrika, hidup sekumpulan budak yang dijajah orang Portugis. Mereka hidup menderita di bawah tekanan majikan. Ancaman hukuman gantung dan cambuk membayangi nasib mereka. Akan tetapi, semangat perjuangan mereka tetap menyala. Diam-diam mereka melawan. Mereka berhasil menciptakan jurus bela diri baru: capoeira.

Capoeira diciptakan berkat kecerdikan budak Angola mengecoh majikan mereka. Keganasan capoeira ditutupi dengan gaya bela diri yang seindah tarian dan disertai nyanyian khas. Tendangan memutar dan melompat yang dilakukan mampu memesona orang-orang yang menyaksikan. Bahkan, dua orang yang sedang latihan bertarung justru terlihat seperti pasangan yang sedang menari. Capoeira semakin berkembang ketika budak-budak Angola tersebar hingga ke Brasil.

Itu adalah satu teori mengenai lahirnya capoeira. Teori lain yang lebih mendapat dukungan adalah bahwa capoeira lahir di Brasil, diciptakan oleh budak-budak yang berasal dari berbagai kawasan di Afrika, antara lain orang Yoruba, Bantu, Angola, Kongo, dan Mozambik. Ahli-ahli sejarah capoeira lebih mendukung teori ini karena yang ada di Afrika hanyalah sebagian unsur yang terpisah-pisah dari seni itu, bukan bentuknya secara keseluruhan. Dari sintesis tarian, pertarungan dan alat musik dari berbagai kebudayaan Afrika yang berbeda oleh para budak itu terciptalah capoeira.

Seiring perkembangan waktu, Capoeira mulai dikenal sebagai bela diri yang agresif. Kebrutalan capoeira makin parah sejak terjadi pembebasan budak pada tahun 1888. Banyak bekas budak miskin yang menganggur kemudian membentuk geng capoeira untuk berbuat kejahatan. Ini membuat Pemerintah Brasil berang dan melarang olahraga ini pada tahun 1892. Mereka yang ketahuan berlatih atau mengajarkan bela diri tersebut akan dihukum berat. Hukumannya berupa pemotongan otot, lutut, bahkan tenggorokan.

Akan tetapi, riwayat capoeira belum berakhir. Banyak pejuang capoeira yang tetap setia dan berlatih secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya, pada tahun 1937, Getulio Vargas, Presiden Brasil pada masa itu, setuju mencabut larangan capoeira. Beliau malah ingin mempromosikan capoeira sebagai olahraga khas Brasil.

Capoeira makin menyebar di seluruh dunia berkat jasa Mestre (sebutan untuk master dalam capoeira) Bimba (1899-1974). Ia berhasil mengembangkan gaya capoeira baru yang lebih cepat dibandingkan dengan capoeira Angola, yaitu capoeira regional. Gaya tradisional yang disebut Capoeira Angola dipertahankan dan dikembangkan oleh Mestre Pastinha (1889-1982). Di Brasil dan berbagai negara seluruh dunia, umumnya diajarkan kedua gaya itu walaupun ada kelompok yang hanya mengajarkan Capoeira Regional atau Capoeira Angola saja.

Sekarang rakyat Brasil boleh berbangga hati melihat kesenian ini makin kencang berkibar. Apalagi setelah mendapat wadah promosi gratis di film, videoklip, dan video games.

Capoeira di Indonesia

Kota pertama tempat berkembangnya capoeira di Indonesia adalah Yogyakarta. Bisa dibilang, kota ini merupakan "ibu kota" capoeira di Indonesia. "Perkembangannya dimulai tahun 1998 sejak kedatangan Simon, murid Australia yang bisa capoeira," jelas Jilly Likumahuwa yang dikenal sebagai ibu dari Capoeira Jogja Club.

Keahlian Simon ini mengingatkan murid-murid Yogya terhadap bela diri yang dilakukan Mark Dacascos di film Only the Strong. Simon lantas mengajarkan gerakan-gerakan dasar capoeira pada mereka. "Setelah Simon, ada capoeiristas lain yang mampir ke Yogya dan mengajarkan capoeira," Jilly melanjutkan.

Perlahan namun pasti, capoeira makin berkembang. Kelompok-kelompok penggemar capoeira mulai bermunculan. Lalu, sampailah capoeira ke Jakarta. Yoga (22) adalah salah satu cowok yang nekat memopulerkan capoeira di Jakarta.

"Aku pertama belajar dari Internet, VCD, dan videoklip. Lalu aku kembangin sampai akhirnya mengajarkan anak-anak lain yang tertarik," jelas Yoga yang menekuni capoeira sejak tahun 1994. Sayang, usaha ini sempat terhenti karena keterbatasan tenaga pelatih.

Yoga sempat lari ke breakdance yang gerakannya serupa dengan capoeira. Namun, impian menyukseskan capoeira kembali bangkit ketika Yoga bertemu Jilly yang akan membuka cabang klub capoeira di Jakarta. Terhitung sudah sepuluh bulan mereka berhasil mendirikan Jakarta Capoeira Club Indonesia. Hingga sekarang, klub-klub penggemar seni bela diri ini sudah tersebar di seluruh Indonesia. Di antaranya ada di Semarang, Bandung, dan Kalimantan.

Gerakan indah

Apa yang membuat orang-orang sangat menggemari capoeira? "Gerakannya indah. Unik banget," kata Asti, siswi kelas 3 SMU 82. Hal senada juga diungkapkan Endy, siswa kelas 2 SMU 2 yang sudah empat bulan menekuni capoeira, "Saya pertama lihat dari nonton film Only the Strong. Saya tertarik lihat gerakannya yang unik dan beda dibandingin bela diri lain."

Asal tahu saja, film Only the Strong yang diproduksi tahun 1993 ini jadi wadah promosi dahsyat buat capoeira. Film action ini bercerita tentang perjuangan Louis Stevens (diperankan Mark Dacascos) dalam membasmi gembong obat-obatan terlarang di SMU almamaternya. Ia lalu mengajarkan ilmu capoeira pada beberapa murid untuk melawan penjahat. Gerakan capoeira yang cantik tetapi mampu menghajar orang, membius mereka yang menyaksikan film ini.

Belajar capoeira juga bukan cuma berlatih jurus-jurusnya. Kita akan diajari filosofi, nyanyian, dan memainkan alat musik khas Brasil. Semua keahlian ini digunakan agar kita semakin menjiwai capoeira. "Kami juga selalu berusaha menciptakan suasana kekeluargaan supaya anggota-anggota makin betah," ujar Jilly.

Dari suasana kekeluargaan ini, anggota klub lebih mudah menyerap filosofi capoeira. Salah satu filosofinya, "Capoeira dalam bahasa Brasil berarti rumput yang rendah. Jadi, seorang capoeirista tidak boleh sombong. Mereka harus menghormati orang-orang dan menghindari permusuhan," kata Jilly yang sudah puluhan tahun menggeluti kebudayaan Brasil.

Walaupun capoeira merupakan ilmu bela diri, tidak berarti capoeirista boleh menyombongkan keahliannya. Seorang capoeirista sejati harus sabar dan hanya menggunakan ilmu jika keadaan sudah memaksanya untuk membela diri. Sebab, tujuan utama capoeira bukan untuk melakukan kekerasan, tetapi menghindarinya.

Ini sudah jadi tujuan capoeira sejak digunakan budak-budak Angola. Mereka dilarang menunjukkan gerakan agresif pada majikannya sehingga dikembangkan trik mengecoh atau malandro. Sampai saat ini, capoeirista cenderung menonjolkan kelincahan dan kecerdikan daripada kekuatan dan kekerasan.

Mirip breakdance

Kalau dilihat lebih lanjut, gerakan capoeira mirip dengan breakdance, terutama gaya akrobatik seperti kepala di bawah dan lompatan. Keduanya sama-sama membutuhkan kekuatan fisik yang menekankan kelenturan, kekuatan, dan kelincahan. "Tapi, capoeira lebih dulu berkembang dan mengilhami gerakan breakdance," ujar Yoga dan Jilly.

Pada dasarnya, breakdance dan capoeira punya persamaan dan perbedaan. Salah satu perbedaan utama adalah gerakan breakdance lebih ngetop duluan dibandingkan dengan musik hip hop yang biasa mengiringi. Sedangkan sejak awal diciptakan, capoeira wajib melibatkan tarian, musik, dan lagu.

Ketiga unsur inilah yang selalu ditampilkan hingga sekarang. Ketika latihan, ada sesi yang disebut roda. Saat roda, pemain capoeira akan berkumpul melingkar dan bernyanyi lagu khusus. Salah satu atau beberapa orang dari mereka juga akan memainkan alat musik khas Brasil, seperti tamborin yang disebut pandeiro dan berimbau, instrumen yang bentuknya seperti busur panah.

Kemudian, semua anggota maju berpasangan secara bergantian untuk saling beradu. Tetapi, tidak ada gerakan yang sengaja menjatuhkan lawan seperti yang sering ditampilkan bela diri lain. Bahkan, gerakan mereka terjadi lambat dan sebisa mungkin tidak mengenai tubuh lawan.

Atraksi terus berlanjut sambil ditimpali senyum keakraban dan iringan dendang unik. Semua ini membuat kita sadar. Bukan hanya jurus bela diri yang membuat banyak orang kecanduan capoeira. Akan tetapi, suasana keakraban yang terjalin. Capoeira…salve!*

*Salve = salut dalam bahasa Brasil. Kata ini selalu dipakai sebagai bentuk penghormatan pada capoeira.

TRINZI MULAMAWITRI Tim Muda

Capoeira, Paduan Seni dan Bela Diri










BEBERAPA minggu lalu dalam sebuah acara kuis di televisi, ada sebuah pertanyaan capoeira berasal dari negara mana. Peserta menebak Jamaika, sebuah jawaban yang salah. Namun, pertanyaan yang disampaikan pembawa acara itu--"capoeira adalah sebuah tarian dari negara mana?"-juga tidak sepenuhnya benar.

Di Indonesia, nama capoeira masih asing sehingga tidak mengherankan kalau pertanyaan maupun jawaban peserta dalam kuis itu meleset. Dalam tiga dekade terakhir memang capoeira sudah mengelana ke luar dari asalnya dan merambah Amerika Serikat (AS) dan Eropa, serta kemudian Australia. Namun, Asia belum banyak mendengar tentangnya. Padahal, di bagian dunia yang lain, dia telah diidentikkan dengan Brasil, bersama dengan samba dan bossa nova.

Jadi, apa itu capoeira? Bahkan, bagi orang yang telah menyaksikannya sendiri, capoeira sulit untuk serta-merta didefinisikan. Suatu tarian? Suatu permainan? Suatu ilmu bela diri? Jawabannya, capoeira adalah gabungan itu semua dan lebih lagi. Dan, para pemain capoeira-yang disebut capoerista atau capoeira-meyakini itu dan menjalaninya.

Capoeira memang Brasil. Namun, orang tak sepakat mengenai asalnya. Bira Almeida, seorang pendekar capoeira yang dikenal orang dengan sebutan Mestre Acordeon dan yang melatih di San Francisco, AS, mengatakan ada tiga teori mengenai asal bentuk kesenian yang melibatkan gerakan, musik, dan unsur-unsur filsafat praktis itu. Ada yang percaya capoeira telah terbentuk di Afrika dan dibawa dalam bentuk yang sudah jadi oleh budak-budak dari tanah Afrika. Teori kedua menyebutkan capoeira diciptakan orang-orang Afrika dan keturunannya di daerah pedalaman Brasil, sedangkan teori ketiga menyebutkan capoeira diciptakan orang-orang dari Afrika di salah satu pusat perkotaan Brasil.

Walau pendukung masing-masing teori memberikan argumen yang mendukung dan yang sudah didiskusikan sejak lama, teori yang paling banyak diterima adalah teori yang kedua bahwa para budak Afrika membawa berbagai unsur kebudayaan dari tanah asalnya, lalu mengolah dan menggabungkannya di tanah Brasil, sehingga terciptalah apa yang disebut capoeira.

Waldeloir Rego-seorang sosiolog Brasil-dalam bukunya, Capoeira Angola, yang diterbitkan Editora Itapua tahun 1968, berpendapat capoeira diciptakan di Brasil dengan serangkaian gerakan dan irama yang terus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat.

Nestor Capoeira, penulis beberapa buku panduan capoeira, menyebutkan apa yang diyakini oleh sebagian besar capoerista bahwa itu merupakan sintesis tarian, pertarungan, dan alat musik dari berbagai kebudayaan berbeda, dari berbagai wilayah Afrika. Sintesis itu diciptakan di tanah Brasil, kemungkinan di Salvador, ibu kota negara bagian Bahia, pada masa perbudakan, terutama selama abad ke-19.

Apa pun teori yang diyakini orang, semua percaya bahwa budak-budak dari berbagai daerah di Afrika adalah orang-orang yang berperan utama dalam sejarah awal kelahiran capoeira di Brasil. Sampai awal abad ke-19, capoeira dan bentuk-bentuk lain ekspresi kebudayaan Afrika diizinkan, selain sebagai katup pengaman terhadap tekanan yang diciptakan oleh perbudakan, juga untuk maksud agar mereka tidak bersatu. Budak-budak itu adalah orang-orang Yoruba dan Dahomei dari kawasan yang kini menjadi Nigeria dan Liberia, orang Hausa, serta orang Bantu dari Angola, Kongo, dan Mozambik. Perbedaan budaya para budak itu diharapkan para penguasa membuat mereka terpecah-belah.

Namun, mulai sekitar tahun 1814, capoeira-yang sudah mulai terbentuk dengan bersintesisnya unsur-unsur kebudayaan Afrika yang beragam itu-dan bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan Afrika lainnya ditekan. Bahkan, pada tahun 1892 capoeira dilarang, padahal empat tahun sebelumnya perbudakan dinyatakan dihapus. Motif penekanan dan kemudian pelarangan oleh penguasa tersebut adalah capoeira memberi rasa persatuan di kalangan orang-orang Afrika itu, menciptakan sebuah kelompok yang kecil dan erat, juga menciptakan orang-orang dengan kepiawaian yang berbahaya. Pada masa itu capoeira, terutama yang di Rio de Janeiro dan Recife, adalah bentuk yang penuh kekerasan.

Baru pada masa pemerintahan Presiden Getulio Vargas yang mulai berkuasa tahun 1930, penguasa mengurangi tekanan pada ekspresi kebudayaan rakyat, termasuk capoeira. Pendekatan pemerintahan Vargas ini mungkin yang memudahkan karya Mestre Bimba, yang bertekad memulihkan dan memperbarui efisiensi dan martabat capoeira.

DUA nama besar tidak bisa terlupakan dalam perkembangan sejarah capoeira. Mereka adalah Mestre Bimba, yang nama aslinya adalah Manuel dos Reis Machado, dan Mestre Pastinha atau Vicente Ferreira Pastinha (mestre adalah sebutan untuk guru capoeira yang diperoleh setelah puluhan tahun belajar ilmu itu). Mereka masing-masing dianggap sebagai perwujudan dari dua jenis capoeira: regional dan angola.

Bimba lahir pada 23 November 1899 di Salvador, Bahia (meninggal di Goiania tahun 1974). Menurut Bira Almeida dalam Capoeira, a Brazilian Art Form, Bimba mulai belajar capoeira pada usia 12 tahun dengan Betinho, seorang Afrika yang merupakan kapten kapal pada sebuah perusahaan pelayaran di kawasan Bahia de Todos os Santos (Teluk Semua Orang Suci) di Bahia.

Ketika berusia 18 tahun, Bimba mulai mengajar. Perannya dalam sejarah capoeira ditunjukkan ketika pada tahun 1932 dia menjadi mestre pertama yang membuka sekolah resmi capoeira. Pada 9 Juli 1937, alur sejarah capoeira berubah dengan diakuinya secara resmi sekolah capoeira itu oleh pemerintah.

Mestre Bimba adalah pendekar yang ternama dan ditakuti di masanya. Menurut Nestor Capoeira dalam Capoeira, Pequeno Manual do Jogador (Editora Record, 2002), Bimba mempunyai sebutan "Três Pancadas" (tiga pukulan), yang merupakan jumlah maksimum pukulan darinya yang bisa ditahan oleh lawannya.

Namun, yang lebih dikenang orang adalah sumbangannya pada capoeiragem, capoeira secara keseluruhan. Dia mengembangkan gaya yang disebut sebagai capoeira regional, memperbaiki kualitas teknik gerakan yang diajarkan, menciptakan sekuens latihan, dan memperkaya ilmu itu dengan sapuan dari batuque, suatu ilmu tari-pertarungan keras yang dipelajarinya dari ayahnya, Luiz Candido Machado. Metode pengajaran baru yang diperkenalkannya berdasarkan pada delapan sekuens dari jurus dan tendangan yang sudah ditetapkan untuk dua pemain.

Adapun Mestre Pastinha (1889-1982) dikenal sebagai tokoh yang berdedikasi mempertahankan dan mengajarkan capoeira tradisional yang disebut capoeira angola. Dia belajar capoeira dari seorang Afrika asal Angola bernama Benedito, yang menurunkan ilmunya kepada Pastinha cilik setelah melihat bocah berbadan kecil itu dipukuli seorang anak yang lebih besar.

Beberapa tahun setelah Bimba, Pastinha juga membuka sekolah capoeira untuk gaya yang tradisional itu di Pelourinho, kawasan historis Kota Salvador. Pastinha dikenal sebagai filsuf capoeira karena kegemarannya menggunakan aforisme. Salah satu favoritnya adalah "Capoeira é para homen, mulher e menino, só não aprende quem nao quiser" (capoeira adalah untuk lelaki, perempuan dan anak-anak, yang tidak mempelajarinya hanyalah mereka yang tidak mau), menegaskan keterbukaan ilmu itu bagi siapa pun.

Pada puluhan tahun silam itu jenis regional (dan Senzala yang berkembang di Rio de Janeiro) berkembang pesat, dengan Capoeira Angola dipertahankan oleh Pastinha dan murid-muridnya. Namun, sekitar 20 tahun lalu ada kebangkitan capoeira angola yang menjadi sangat populer. Kini banyak mestre dan sekolah capoeira, baik di Brasil maupun di luar Brasil, menggabungkan dua gaya itu karena masing-masing mempunyai kelebihan.

Capoeira disebut sebagai paduan seni dan bela diri karena olah fisik hanyalah satu unsurnya. Seorang yang belajar capoeira baru akan disebut sebagai capoerista kalau dia selain berlatih kemampuan fisik dan mempelajari sejarah serta filsafat ilmu itu juga menguasai lagu-lagu dan belajar alat musik capoeira. Menurut Eduardo Correia Filho (Contra-mestre Duda) dari Grupo Luanda, Bahia, seorang capoerista harus menguasai ilmu itu dalam teknik, filsafat, kultural, dan musik.

Musik menjadi bagian tak terpisahkan dalam praktik capoeira. Kata-kata dalam lagu capoeira mempunyai arti khusus bagi mereka yang mempraktikkannya, bisa cerita historis, filsafat, maupun ejekan dan canda. Untuk menjadi capoerista, seseorang juga harus mempelajari bagaimana memainkan alat musik tradisionalnya serta iramanya.

Ciri khas musik capoeira adalah alat musik yang disebut berimbau. Bentuknya mirip busur panah, terbuat dari kayu dan kawat (dari ban mobil), dengan cabaça (labu) kering yang telah dikeluarkan bagian dalamnya sebagai resonator. Alat musik yang disebut sebagai jantung capoeira itu bunyinya "tung-tung-tung". Selain itu, ada pandeiro (tamborin), atabaque (gendang), agogo, dan reco-reco.

PADA tahun 1970-an, capoeira mulai merambah ke luar Brasil dan diterima hangat di AS, Eropa, dan kemudian Australia. Menurut Bira Almeida atau Mestre Acordeon yang mengajar murid-murid Amerika di San Francisco, bagi murid-muridnya di AS itu, capoeira adalah seni yang mengagumkan namun pelik, yang memberikan tantangan fisik dan enigma filosofis dari konteks sosiokultural dan sejarah yang berbeda. Oleh karena itu, dia ingin memberikan capoeira kepada mereka dengan cara akurat dan selengkapnya.

Keaslian capoeira di luar Brasil, menurut dia, harus dipertahankan dengan pengetahuan sejarahnya, hormat kepada tradisi dan ritualnya, mengerti filsafatnya, serta penggunaan gerakan yang tepat.

Di Jakarta, sejak beberapa bulan lalu, telah diajarkan capoeira dari kelompok bernama Asociação Grupo Bahia de Capoeira. Pengajarnya, Paul Andrew Stevens, yang mempunyai sebutan Ratinho, belajar capoeira sejak delapan tahun lalu di Brasil, AS, dan kemudian Australia, antara lain pada Mestre Paulo dos Anjos (yang meninggal tahun 1998) di Salvador dan Mestre Cicatriz di Sydney. Selain latihan fisik, dia juga mengajarkan sejarah, filsafat, dan ritual, serta alat musik capoeira. Menurut anak muda 19 tahun ini, murid-murid Indonesia tidak mempunyai kesulitan dalam menangkap yang diajarkan. Yang perlu ditingkatkan dari mereka? "Motivasi," katanya.

Mengajarkan capoeira dalam bentuknya yang utuh di tempat dengan konteks budaya dan sejarah yang berbeda memang bukan hal mudah. Mereka yang belajar capoeira di luar Brasil harus mempelajari tidak hanya suatu ilmu bela diri, melainkan juga seni yang menjadikannya suatu kesatuan. Ini memang perlu motivasi yang besar.

Bagi mereka yang tinggal di Bahia, negara bagian Brasil sebelah timur laut, capoeira adalah bagian keseharian mereka. Seperti kata Contra-mestre Duda, "Capoeira ada dalam darah kami."

Bagaimana tidak ada dalam darah dan udara yang mereka hirup kalau capoeira di Bahia dapat Anda temui di mana pun. Di Pelourinho, bagian kota bersejarah Salvador, itu menjadi sajian harian. Juga di lapangan, di pantai, serta di academias (sekolah-sekolah), capoeira bertebaran di seluruh Kota Salvador.

Menyadari kekayaan budaya yang bisa dimanfaatkan demi masyarakat itulah sekelompok capoeirista yang bergerak dalam bidang pendidikan jasmani, baik guru maupun mahasiswa, di Bahia membentuk kelompok untuk mengajarkan capoeira di sekolah-sekolah. Ada tiga perkumpulan yang terlibat dalam upaya ini: Centro Cultural de Capoeira Sao Salvador (SSA), Grupo GUETO, dan Grupo Luanda. "Kami ingin memperlihatkan kepada masyarakat sumbangan yang bisa diberikan capoeira. Yang kami sampaikan adalah capoeira sebagai kebudayaan, tidak hanya capoeira sebagai olahraga," kata Duda dari Grupo Luanda.

Pada anak usia 4-6 tahun, mereka menggunakan capoeira dengan perspektif meningkatkan kemampuan motorik anak: tangan, kaki, kepala, penglihatan periferik. Bagi anak usia 7-11 tahun yang dianggap telah berkembang kemampuan motoriknya, aspek sosial ditambahkan pada aspek fisik sehingga anak belajar kolektivitas: ada yang main musik, ada yang menyanyi, ada yang bermain, ada yang bertepuk tangan, semua terlibat dalam roda de capoeira. Aspek sosial ini diperkuat lagi pada kalangan murid remaja.

Capoeira mempunyai ritualnya. Seni ini dipraktikkan dalam sebuah roda, lingkaran orang yang terlibat, yang sering disebutkan sebagai gambaran roda kehidupan dengan masing-masing orang memainkan perannya.

Sebuah roda tradisional dimulai dengan sang mestre memainkan berimbau sendirian, disambung dengan alat musik lain. Lalu sang mestre menyanyikan sebuah laidanha, disambung dengan bersama menyanyikan entrada atau chula, menandai permainan di tengah roda bisa dimulai. Permainan yang diiringi lagu-lagu jenis corridos itu dimulai dengan dua pemain berjongkok berhadapan di kaki berimbau (sehingga muncul istilah No pé do berimbau-di kaki berimbau), menyerap energi yang diciptakan oleh roda, sebelum saling menyentuhkan telapak tangan dan masuk ke tengah roda.

Ketika menyaksikan Duda, Professora Brisa (Carolina de Magalhães) dan suaminya Contra-mestre Jean Pangolim dari Grupo GUETO, Contra-mestre Zézo dari SSA (murid Mestre Zé Doró), Professor Boda, Professor Aranola, Mestre Lazinho, dan teman-teman mereka dengan penuh semangat dan kegembiraan bermain capoeira dengan anak-anak, yang terlintas di pikiran adalah betapa beruntungnya anak-anak Salvador itu. Mereka tidak sekadar bermain capoeira. Mereka mendapat kesempatan mempelajari bagian kebudayaan mereka dengan penuh sukacita karena dedikasi para capoerista itu.

Anak-anak itu secara tak langsung diajarkan hidup bermasyarakat. Seperti kata Duda, "Dalam capoeira, orang diajarkan menghormati sesamanya. Capoeira bukanlah sekadar pertarungan dari sudut pandang teknik, tetapi suatu jogo (permainan) di mana Anda tidak ’bermain melawan’ (joga contra) melainkan ’bermain dengan’ (joga com) mitra Anda." (Diah Marsidi/KOMPAS)

Capoeira, efektif menurunkan lemak





Capoeira. Inilah beladiri kaum budak Afro Brazilia yang mulai dilirik kaum muda di kota-kota besar. Termasuk Indonesia. Gerakannya begitu ekspresif dan kaya kreasi.

Apa manfaatnya bagi kesehatan?

Only the Strong bukan film laga yang tergolong laku di bioskop-bioskop negeri kita. Di Amerika penjualan film produksi Twentieth Century Fox ini juga tidak bagus-bagus amat. Situs Internet Movie Database mencatat, saat diedarkan pada 1993, hanya mampu meraup AS $ 3,2 juta.

Kisahnya tidak rumit. Tentang Louis Stevens (diperankan Mark Dacascos), prajurit baret hijau, yang mudik ke Miami, Florida. Di kampungnya, ia mendapati banyak remaja tanggung terancam bahaya narkoba. Louis bertekat membebaskan dengan mengajari mereka beladiri capoeira.

Usaha Louis tidak sia-sia. Dua puluh remaja paling badung mau mengikuti jejaknya. Namun risikonya, ia harus berhadapan dengan Silverio Alivarez, bandar narkoba yang juga jawara capoeira. Ending-nya, kliselah, sang jagoan - alias Louis - yang menang.

Tak dinyana, aksi aktor Mark Dacascos membuat beberapa remaja Yogyakarta kepincut. Mereka mencoba mencari tahu soal beladiri eksotik asal Brazil itu. Malah pada acara kumpul-kumpul sore, beberapa orang nekat melakukan gerakan-gerakan capoeira.

"Awalnya ngawur, Mas. Cuma lompat sini, lompat sana," aku Yudhi Handoyo (23), Ketua Capoeira Jogja Club (CJC), tanpa malu-malu mengisahkan polahnya.

Ketika itu, bahkan sampai sekarang, Yudhi dan sesama capoeirista (sebutan untuk pemain capoeira) kesulitan mendapatkan pelatih. Namun, tak ada kata patah semangat. Mereka malah berlatih hampir setiap hari di lingkungan Kampus UGM. Bahan-bahan latihan didapat dari internet.

Seluruh gerakan dipelajari dari video yang banyak terdapat di situs-situs tentang capoeira, sambil saling mengoreksi di antara mereka. Beruntung, sekali waktu, ada warga negara asing yang bersimpati dan bersedia membimbing. Saat ini mereka tengah dibimbing Rod Penn, warga Inggris yang bekerja di Semarang.

Hasilnya, menjelang empat tahun berdiri, peminat capoeira di Kota Gudeg itu sudah lebih dari 60 orang. Bahkan kini angkatan pelopor sudah "naik pangkat". Sekali seminggu, mereka diminta membimbing di Jakarta dan Bandung. Peminat di dua kota ini, hampir sebanding dengan Yogya.

"Keinginan terbesar kami, ingin didatangi mestre dan menjadi (cabang) legal capoeira di Indonesia," jelas Yudhi. Mestre atau master adalah tingkat tertinggi dalam capoeira.

"Oh, mestre datanglah, we need you," begitu tulisan bernada memelas yang tercantum di situs web CJC.

Senam lantai & akrobat

*
Bagi orang kebanyakan, nama capoeira masih terasa asing. Meski bisa jadi pernah melihatnya, suatu saat entah di mana.

Seni beladiri ini mendunia dengan bergerilya melalui film-film Hollywood atau permainan video playstation.

Cirinya segera terlihat dari gerakan kuda-kuda yang khas, disebut ginga (dibaca: jinga). Kedua kaki maju bergantian dengan tangan mengayun sebatas dada. Sekilas, gerakannya mirip pogo, tarian penggemar musik ska, yang beken di kalangan anak muda dua-tiga tahun lalu.

Saat memperagakan "jurus-jurus" atau bertarung, gerakan kaki capoeirista tampak lebih dominan. Sering posisi kepala lebih rendah, hingga tubuh bertumpu pada tangan. Banyak pula gerakan yang merupakan variasi dari lompatan atau salto, hingga terlihat seperti perpaduan antara senam lantai dan akrobat.

Dalam pertarungan, gerakan akrobatik digunakan sebagai dasar serangan. Sedang pukulannya bisa dilakukan dengan kepala, tangan, siku, lutut, atau kaki. Pada pertarungan bawah (ground fighting), capoeira dapat memberi tekanan berarti, meski tidak terlalu dapat memberi kuncian.

Tak seperti beladiri lain, capoeira tidak terlalu banyak melakukan gerakan tangan. Tidak pula mengenal senjata dalam pertarungan. Jika ada tongkat atau parang yang digunakan, itu bagian dari tari maculele. Tarian tradisional Brazil yang kadang dimainkan capoerista.

Pertarungan jadi tampak seperti adu akrobatik, capoeira pun jadi layak ditonton sebagai hiburan. Maklum, gerakan dasarnya memang tarian. Pemain begitu bebas berekspresi dan melakukan variasi gerakan. Terasa wajar pula jika kemudian ada yang meragukan keampuhannya dalam pertarungan gaya bebas, bila dibandingkan dengan beladiri dari Asia seperti karate atau taekwondo.

Namun, tak semua orang setuju dengan pendapat itu. Paul Andrew Zellinger Steven (19), instruktur capoeira di Jakarta Selatan justru merasa menemukan kebebasan. "Kita bisa memadukan gerakan apa pun seindah mungkin. Tidak akan cepat bosan, lebih dinamis," kata penyuka berbagai olahraga beladiri itu.

Suasana dinamis semakin terasa saat peragaan pertarungan di roda (hoda), arena berbentuk lingkaran. Selagi bertarung, sesama capoeirista di sekeliling arena akan bernyanyi sambil bertepuk tangan diiringi berimbau, alat musik berbentuk busur berdawai tunggal. Nada-nada khasnya terasa mistis di tengah bunyi alat perkusi lain seperti atabaque (konga), pandero (tamborin), dan agogo (mirip pipa berbentuk "u" vertikal).

Peran musik, terutama berimbau, dalam hoda begitu sentral karena ia menentukan tempo nyanyian, yang juga menentukan pula sifat pertarungan, apakah keras atau bersahabat. Filosofinya, alat dari kayu bariba itu adalah "sentral" capoeira.

Agar komplet, capoeirista juga wajib melahap filosofi capoeira, yang banyak disarikan dari pola gerakan. Ajaran ini juga banyak diserap dari capoeira asli, atau disebut capoeira angola, yang masih hidup berdampingan dengan capoeira regional atau modern. Gerakan, musik, nyanyian, dan filosofi merupakan materi yang harus dikuasai untuk menentukan kenaikan "tingkat".

Minimal 20 tahun

*
Kuatnya rasa persaudaraan di kalangan komunitas Afro Brazilia turut mempengaruhi capoeira.

Wujudnya adalah keterikatan antarsesama dalam satu perguruan atau disebut grupo. Sebuah upaya para pendahulu yang agaknya dilakukan untuk mempertahankan budaya ini sebagai identitas asli bangsa Brazil.

Hanya orang dengan tingkat mestre yang berhak membentuk grupo. Tidak ada data pasti tentang jumlahnya, karena capoeira terus berkembang dalam pelbagai interpretasi masing-masing kelompok. Namun, Amerika Serikat menjadi domisili grupo terbanyak di luar Brazil. Grupo terdekat dengan negeri kita berada di Australia, yang merupakan cabang dari Grupo Bahia.

Grupo menjadi induk ajaran dan sumber dari beraneka peraturan. Termasuk melakukan batizado, ritual kenaikan dari tingkat pemula (beginner) ke tingkat selanjutnya. Grupo pula yang melakukan ujian untuk kenaikan tingkat setelahnya.

Salah satu keunikannya, seseorang akan memperoleh "nama baptis" saat batizado. Tradisi ini berasal dari kebiasaan capoeirista menyamarkan identitas untuk mengecoh petugas keamanan di masa silam. Pemberian nama itu hak "prerogatif" sang mestre.

"Sumbernya bisa dari apa saja. Tingkah laku, kebiasaan, atau ciri fisik yang bersangkutan," terang Andrew yang mengaku mempunyai nama Ratinho (baca: hacinyu), artinya bayi tikus. Menurut dia, seorang mestre yang memberi nama itu melihat berdasarkan tingkah laku dan rambutnya.

Berbeda dengan beladiri lain, capoeira tak mengenal sistem "sabuk". Tingkatan yang diterapkan hanya untuk memudahkan pengajaran. Misalnya pada Grupo Bahia, salah satu grupo terbesar dengan ribuan anggota di dunia, menerapkan sistem 16 tingkat mulai dari pemula hingga mestre. Setiap tingkat dibedakan dengan tali di pinggang yang mengambil unsur warna bendera Brazil: hijau dan kuning.

Kemiripan dari semua grupo adalah dalam soal waktu belajar. Semakin tinggi tingkatnya, semakin lama proses belajarnya. Tingkat pemula memang cukup belajar enam bulan. Begitu ke tingkat berikutnya, masa belajarnya bertambah setengah hingga dua tahun. Untuk sampai tingkat mestre perlu minimal 20 tahun.

"Capoeira ini sebuah way of life. Bisa dikatakan, belajar capoeira tidak ada selesainya," jelas Yudhi berfilosofi.

Sampai luwes

*
Seperti olahraga dengan aktivitas fisik lain, capoeira juga menawarkan kebugaran bagi peminatnya.

Apalagi pada tahap awal latihan, banyak dilakukan gerakan aerobik, yaitu saat melakukan ginga. "Tarian" dasar ini wajib dikuasai sampai benar-benar luwes, selama kurang lebih enam bulan.

Pada tahap awal, CJC sudah memperkenalkan beberapa gerakan dasar, agar latihan terasa bervariasi. Seperti bencao (tendangan ke bawah), armada (tendangan berputar rendah), quexiada (tendangan berputar tinggi), serta esquiva (gerakan menghindar).

Andrew bertutur, seorang pemula juga belajar gerakan dasar seperti berdiri dengan tangan (handstand), berputar ke samping (cart-wheel), kemudian posisi kayang dan salto. "Ini posisi dasar, agar bisa melakukan gerakan selanjutnya. Kalau dasarnya sudah tidak benar, selanjutnya susah," jelasnya.

Risiko cidera tentu ada. Terutama pada otot-otot tangan, sekitar pinggang dan kaki. Biasa terjadi karena capoeirista kurang pemanasan atau nekat melakukan gerakan tertentu yang belum dikuasai benar.

Kekuatan tangan juga menentukan. "Kekuatan tangan perempuan berbeda dengan laki-laki saat menahan beban. Akibatnya, (perempuan) bisa lebih lama waktu mempelajari suatu gerakan," kata Yudhi. Latihan bertahap dan berulang, katanya, perlu dilakukan agar orang tahu cara melakukan yang tepat bagi dirinya.

Yang menarik, berdasar pengamatan para instruktur, kelebihan beladiri ini efektif untuk memangkas lemak tubuh. Kemungkinan penyebabnya, gerakan-gerakan dalam capoeira banyak mengandung unsur goyang samba, yang selama ini banyak dicomot untuk senam pelangsingan tubuh.

"Penurunannya hampir sepuluh kilo dalam waktu dua bulan," kata Andrew berpromosi.

Bisa jadi pengamatan itu tidak salah. Namun, penurunan bobot badan juga harus memperhatikan dampak bagi kondisi tubuh pada umumnya.