Monday, December 31, 2007

Rio De Jenairo, Brazil, yang Ragawi



TIGA anak muda sibuk memasang sebuah jaring voli ketika kami, saya dan teman lama saya Bruno Farias, tiba. Kami berada di dekat Posto 3 Pantai Copacabana, Rio de Janeiro. Bruno memperkenalkan saya pada ketiga kawannya itu: Marcos yang memakai anting di kedua daun telinganya, Michel yang kurus tinggi, dan Bruno lainnya yang memakai T-shirt Muay Thai. Sabtu sore itu mereka berniat bermain voli pantai, yang dua lawan dua itu.

Tak lama datang tiga teman mereka lagi: Rodrigo yang teman kuliah Bruno Farias, pacar Rodrigo, Priscila, dan adik Rodrigo, Gustavo. Kami ngobrol di pinggir lapangan yang garisnya dibuat dengan kaki pada pasir itu, sementara yang empat bermain voli pantai.

Ada banyak orang di Pantai Copacabana sore musim dingin di belahan bumi selatan itu, walau tak seperti kala musim panas, ketika pantai cantik itu dipenuhi tubuh-tubuh indah dan kurang indah. Pagi dan siangnya matahari bersinar penuh, namun sore itu mendung menutupi langit, dan angin bertiup kencang. Namun, tetap saja keempat anak muda itu asyik bervoli. Bahkan ketika tetesan air jatuh satu satu dari langit.

Baru ketika hujan melebat, mereka berhenti dan sibuk melepas jaring voli, sementara kami yang menonton sudah berlari mencari tempat perlindungan, seperti juga orang-orang lain yang tadinya bersantai di pantai.

Kami berdesakan berlindung dekat sebuah kios makanan. Hujan makin lebat sehingga diputuskan untuk pergi ke rumah Marcos yang tak jauh dari situ. Berlarianlah kami melintasi kakilima berhias piedras portuguesas (batu portugis) yang membentuk corak ombak dan yang menjadi ciri khas Copacabana itu. Terus berlari menyeberangi jalan, kami menuju ke gedung-gedung apartemen beberapa puluh meter dari pantai saat hujan tambah lebat.

Ketika kami tiba di apartemen Marcos, kami sudah setengah basah kuyup. Persediaan handuk kering Marcos harus dikeluarkan semua agar kami bisa cukup nyaman menonton pertandingan bola di televisi. Rencana melewatkan sore di pantai pun berubah menjadi acara menanti hujan berhenti sambil menonton pertandingan bola di televisi.

BRUNO minta maaf atas perubahan rencana itu. Tentu saja tak ada yang perlu dimintai maaf. Selain karena tak satu pun dari kami adalah pawang hujan, juga karena hujan pun bisa dinikmati. Berhujan-hujan di Pantai Copacabana, menonton sepak bola di televisi sambil ngobrol menanti hujan reda, lalu berjalan pulang ke hotel yang juga di kawasan Pantai Copacabana itu sambil melanjutkan ngobrol dengan Bruno, Rodrigo, Priscila, dan Gustavo yang mengantar saya. Menikmati keadaan atau menyesali keadaan itu hanyalah soal sudut pandang.

Rio yang disebut sebagai cidade maravilhosa itu memang menawarkan banyak hal untuk dinikmati atau disesali. Namun yang jelas, aspek ragawi selalu kuat dalam tawaran-tawarannya. Bahkan pada musim dingin ini, saat pantai tak lagi dipadati manusia yang nanti akan mencendol pada musim panas itu, aspek ragawi masih saja jelas.

Saya teringat ketika hampir dua bulan sebelumnya saya mengunjungi Rio. Waktu itu dalam rangka tugas, ikut misi yang diadakan Departemen Luar Negeri dan Badan Pengembangan Ekspor Nasional yang menggelar pameran terpadu Indonesia di kota itu. Suatu malam, tiga pria mencari saya di hotel, untuk membawa saya melihat sebuah roda capoeira. Roda capoeira itu adalah di mana para capoeirista membentuk lingkaran, bernyanyi, main musik, bertepuk tangan, dan memperlihatkan kebolehan mereka di tengah lingkaran itu.

Renato atau Mestre Torpedo dan Luciano-kakak dan adik Mestre Cicatriz dari Grupo Bahia de Capoeira yang adalah mestre saya-serta teman mereka, Marcos, membawa saya ke Itaguai, dua jam perjalanan dari hotel saya di kawasan Botafogo. Ketika kami tiba menjelang pukul 10 malam, suara berimbau terdengar sampai ke jalan, menandakan roda telah dimulai.

Saya diperkenalkan pada para capoeirista dari Grupo Uniao Costa Verde dan Grupo Congo itu. Lebih dari dua puluh orang lelaki yang sudah bertahun-tahun mendalami bentuk seni Brasil ini berkumpul. Mestre Garnise, Mestre Velho, Contramestre Veiga, Contramestre Vega, Professor Ninja, Mandibula, Jacare, Queda... aduh mana mungkin mengingat nama mereka satu per satu.

Semakin sulit saya mengingat nama mereka ketika mereka sudah beraksi. Mula-mula saya masih mampu mengingat, misalnya bahwa Professor Ninja itu yang berbadan kekar dan bertelanjang dada, bahwa Mestre Garnise itu yang berbadan ramping dan bersikap halus dan santun, bahwa Contramestre Velho adalah yang bertato di lengannya. Namun ketika mereka melakukan permainan di tengah lingkaran tiap kali dua orang, itu semua menjadi kabur. Bahkan Mestre Torpedo dan Luciano pun tak bisa saya kenali.

Gerakan mereka sangat cepat, terkoordinasi, ganas, dan indah. Yang mereka perlihatkan adalah yang seperti di film-film laga. Yang saya lihat adalah hasil latihan tekun bertahun-tahun. Udara malam yang 17 derajat Celsius tak lagi terasa dingin di aula yang salah satu sisinya tak berdinding itu. Berimbau dikentung, lagu-lagu dinyanyikan membahana, tepuk tangan berirama menambah semangat. Energi yang terasa sungguh luar biasa. Saya menjadi bagian dari lingkaran itu tanpa khawatir terkena kaki melayang karena masing-masing menguasai gerakan mereka yang terkontrol.

Roda selesai, para capoeirista itu lalu memperlihatkan kebolehan mereka dalam acrobacia. Satu-satu bersalto dengan berbagai gaya khas mereka, serba indah dan mengagumkan. Lalu ketika saya minta mereka berfoto bersama, masih juga mereka ingin nampang. Bergantian mereka tampil memperlihatkan sebuah gerakan, di depan teman-teman mereka yang sudah siap difoto.

KETIKA saya kembali mengunjungi Rio pertengahan Juli, udara malamnya masih juga dingin menggigilkan. Namun hujan tak turun keesokan hari setelah acara gagal voli di pantai itu. Hari Minggu itu, saya diajak keluarga Farias dengan siapa saya telah bersahabat selama belasan tahun itu, untuk ke Pekan Raya Nordestina, sebuah pekan raya rakyat dari daerah timur laut Brasil yang didakan di Rio tiap akhir pekan.

Walau penjualan makanan dan produk daerah menjadi fokus, namun aspek ragawi tak terlupakan dalam pekan raya rakyat itu. Di sebuah panggung sebuah kelompok musik tradisional Nordestino beraksi. Di depan panggung, pasangan-pasangan asyik menarikan dansa Forro, sebuah dansa tradisional yang sangat populer.

Seperti dalam aktivitas-aktivitas fisik yang saya ceritakan sebelumnya, saya juga menikmati menjadi penonton. Tak bisa bervoli atau ber-forro bukan halangan untuk menikmatinya.

Hari terakhir saya di Rio, mendung kembali menutupi, sehingga rencana untuk ikut terbang layang tandem saya batalkan. Apa gunanya melayang-layang di udara kalau tak ada sinar matahari yang menemani, yang terpantulkan oleh air tenang di pantai-pantai kota yang jelita itu?

Di Pantai Arpoador yang berombak, tampak peselancar menikmati hari. Saya duduk sejenak bersama beberapa orang lain yang juga menikmati hari dengan menonton para peselancar itu beraksi. Mungkin sebelum berangkat ke bandara, masih ada waktu untuk manicure-pedicure, perawatan kuku yang sepertinya adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kelas menengah di Brasil. (Diah Marsidi/KOMPAS)

No comments: